Kamis, 20 Januari 2011

Pandangan Ikhwan Dalam Keberagaman Etnis dan Agama

Al-Ikhwan Al-Muslimun dalam menanggapi berbagai isu selalu dalam bingkai aturan, rambu dan prinsip yang jelas bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunah. Diantara sikap mereka adalah sikap terhadap orang-orang Kristen Koptik sebagai sesama warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Ditambah beberapa sikap Ikhwan terhadap isu-isu kekinian sudah ditegaskan dalam etika perjuangan sejak tahun 1928. Artinya, sikap-sikap itu sudah terdata dan jelas sekali, tidak ada keraguan didalamnya.

Akan tetapi sejumlah tulisan tak bertanggungjawab biasanya menggunakan kesempatan untuk melakukan kampanye hitam atas prinsip-prinsip Jama’ah.
Menghadapi kampanye murahan ini, Jama’ah mengatakan kepada para penyeru kampanye itu seperti arahan Mursyid ‘Am Ikhwan, asy-Syahid Hasan Al-Banna yang menyatakan;”…. Atau seseorang yang berburuk sangka kepada kami dengan berbagai keraguannya. Ia tidak memandang kami selain dengan pandangan buruk semata, tidak berbicara tentang kami selain dengan bahasa orang yang tak suka dan buruk sangka. Orang semacam kami selalu mendo’akan kepada Allah ta’ala, untuk kami dan untuk dia, semoga Allah menunjuki kebenaran kepadanya dan kepada kami serta memberikan kepada kami untuk bisa mengikutinya. Dan menunjukkan kepada kami kebatilan adalah kebatilan semata, semoga Allah membimbing kami agar dijauhkan dari kebatilan tersebut. Kami terus mendakwahinya tanpa jenuh karena Allah ta’ala selalu menjadi harapan kami. Seperti yang difirmankan oleh-Nya dalam Al-Qur’an yang artinya; ”Sesungguhnya engkau (hai Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai, namun Allah yang memberikan hidayah (petunjuk) kepada orag yang Ia kehendaki.”

Berikut ini kami paparkan sikap Jama’ah terhadap isu etnis dan beragam agama seperti sikap Jama’ah atas isu-isu lainnya;

Sikap Umum Terhadap Muslim dan Non Muslim

Sikap ini bukanlah transisi atau pilihan untuk memilih yang lebih baik, namun sebuah sikap yang bersumber dari Islam, khususnya Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ikhwan melihat bahwa manusia semuanya membawa kebaikan, siap mengemban amanah dan konsisten di jalan kebenaran. Ikhwan tidak disibukkan dengan mengkafirkan seseorang walaupun terjerumus dalam kemaksiatan, mereka melihat orang yang nampak diluarnya saja. Sedangkan masalah hati, itu rahasia Tuhan. Dia yang memberi ketaqwaan jiwa dan menghitung setiap apa yang dilakukan jiwa tersebut.
Ikhwan selalu mengatakan bahwa kami adalah para da’i dan bukan hakim, tak pernah sedetikpun untuk memikirkan membenci seseorang yang berlainan agama dan keyakinannya. Sebagaimana yang diajarkan oleh agama kita; “Tidak ada paksaan dalam beragama.”

Sikap Ikhwan terhadap orang-orang Kristen di Mesir dan dunia Arab adalah sikap yang jelas, lama dan sudah dikenal. Hak dan kewajiban mereka sama dengan kami, mereka sekutu di tanah air dan saudara dalam perjuangan nasional sejak lama. Mereka memiliki hak sebagai warga negara, baik material maupun spiritual, hak sipil dan politik, berbuat baik dan bekerjasama dengan mereka dalam hal kebaikan. Barangsiapa yang mengatakan diluar itu, maka kami berlepas diri dari apa yang ia ucapkan.
Islam sejak diturunkan wahyu kepada Rasulullah SAW menilai perbedaan manusia sebagai sebuah realita alam dan kemanusiaan. Sistem politik, sosial dan kebudayaan dibangun atas dasar perbedaan dan keberagaman ini. “Dan Kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling kenal.”

Keberagaman ini dalam konteks Islam berarti mengakui orang lain, dan ini berarti harus ada kesiapan diri dan persepsi untuk menggandeng orang lain karena memiliki kebaikan, kebenaran dan kemaslahatan. Hal itu tidak lain berdasarkan sebuah riwayat yang artinya: “Hikmah adalah sesuatu yang hilang dari seorang mukmin, kapan saja ia menemukannya ia adalah orang yang paling berhak dari yang lainnya.”

Oleh karena itu, sangatlah zalim orang yang menyebut Islam dan umatnya sebagai jama’ah yang tertutup meninggalkan dunia, tidak memiliki take and give terhadap bangsanya. Ikhwan kembali menegaskan akan komitmennya terhadap pandangan Islam ini dan mengingatkan kepada para pengikutnya agar setiap mereka, dalam ucapan dan pikiran, menjadi simbol bagi konsep ini. Menyatukan dan disatukan. Membuka hati dan pikirannya terhadap semua orang, tidak menganggap dirinya lebih atas orang lain. Tangannya terbuka bagi semua orang dalam hal kebaikan, kecintaan dan kejernihan hati. Ia memulai semuanya, baik ucapan dan perbuatan, dengan ucapan salam dan perdamaian. Dengan cara ini, Rasulullah SAW menjadi pemimpin bagi seluruh alam dan dengan ini saja orang bisa loyal kepadanya serta kepada kebenaran yang datang darinya. Kalaulah kamu berkeras hati, tentu mereka akan kabur dari kamu. Itu adalah peringatan untukmu, buat umatmu dan kamu sekalian akan ditanya.

Al-Ikhwan Al-Muslimun
Kairo, 30 Dzulqaidah 1415/ 30 April 1995

Kesatuan Nasional

Syariat Islam membolehkan non muslim untuk menjalankan secara bebas agama, keyakinan dan syiarnya masing-masing.
Risalah Imam Al-Banna dan buku-buku Ikhwan secara umum, mempertegas pemahaman ini dan berusaha mempertajamnya di kalangan orang berdasarkan kaedah yang disepakati oleh para ahli fiqh tradisional; mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita.
Hubungan antara Ikhwan dan Nasrani tergolong lama dan baru, model yang unik dan gaya yang istimewa menunjukkan hubungan kuat di antara mereka. Belum pernah terjadi tindakan-tindakan yang bisa mengotori kebersihan hubungan ini. Hal mana mengingatkan kita akan peristiwa mengejutkan, yaitu sejumlah pendeta asal Qina, selatan Mesir pada tahun 40-an meminta perdana menteri saat itu untuk menerapkan syri’at Islam setelah mereka mendengar ceramah Imam Al-Banna seputar keistimewaan syari’at Islam yang berisikan jaminan terhadap hak, keamanan dan kestabilan bagi non muslim.

Ikhwan melihat bahwa kewarganegaraan yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya telah menggantikan kedudukan “ahlu dzimmah”. Kewarganegaraan ini dasarnya adalah keikutsertaan utuh dan persamaan dalam hak dan kewajiban. Tinggal masalah yang terkait dengan status pribadi seperti nikah, talaq, warisan dll, itu diserahkan kepada keyakinan masing-masing penduduk.

Dalam kaitan kewarganegaraan ini, agar masyarakat mendapatkan akses kemampuan dan kapasitas anggotanya, Ikhwan melihat bahwa orang-orang Nasrani bisa menjabat, selain sebagai kepala negara, semua jabatan lain seperti penasehat, kepala kantor bahkan menteri sekalipun. Ikhwan juga melihat bahwa keberagaman ini sebagai faktor kekuatan dan kekayaan, bukan faktor pemecahbelah.
Rasulullah SAW bersabda:

" أيها الناس إن ربكم لواحد، وإن أباكم واحد كلكم لآدم وآدم من تراب، لا فضل لعربي على أعجمي ولا لأبيض على أحمر إلا بالتقوى.).. رواه أحمد وأبونعيم في الحلية، والطبراني في الأوسط والبزار، وقال الهيثمي رجال البزار رجال الصحيح.

“Hai manusia, Tuhanmu itu satu, bapakmu juga satu, setiap kamu dari Adam dan Adam dari tanah. Tidak ada keutamaan bagi Arab atas orang non Arab, juga bagi si putih atas si merah, kecuali dengan ketaqwaan.” (HR. Ahmad dan Abu Nu’aim di kitab “al-Hilyah”, Tabrani dalam kitab “al-Ausath” juga oleh al-Bazzar. Imam al-Haitsami mengatakan bahwa orang-orang al-Bazzar adalah perawi-perawi hadits shahih)

Dalam kaitan kaedah ini, Ikhwan menyikapi isu tersebut dalam koridor berikut ini:

1- Tidak ada paksaan dalam agama, setiap orang memiliki hak untuk menjalankan praktek agamanya sesuai dengan aturan umum yang dipakai oleh masyarakat.
2- Sama-sama dalam meraih kesempatan hidup dan sama di depan hukum adalah hak mutlak bagi semua penduduk tanpa melihat etnis, warna kulit, bahasa ataupun agama apapun.
3- Status pribadi untuk minoritas diserahkan kepada syariat dan keyakinan masing-masing. Kecuali kalau memang mereka mau menjadikan syari’at Islam sebagai tempat rujukan mereka, itu dikembalikan kepada mereka.
4- Non muslim digolongkan mendapatkan hak dalam mayoritas muslim jika berhukum dengan syari’at Islam.
5- Jama’ah melihat bahwa pondasi hidup bersama (koeksistensi) di masyarakat memiliki 4 hal:

Pertama: menghormati dan mengakui orang lain serta berinteraksi dengannya. Bagi kita selaku umat Islam ini adalah masalah legitimasi, mencakup perbedaan agama dan politik, sesuai pembagian sekarang ini. Allah ta’ala telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih, iman atau kafir. Walau demikian Allah ta’ala tidak membeda-bedakan antara kafir dan mukmin dalam pembagian rezeki. Akan tetapi Allah ta’ala menjelaskan bahwa iman itu adalah ikatan kuat yang tidak akan terpisah. Allah ta’ala mengajaknya kesana dan memberikan dorongan ke jalan iman. “Tidak ada paksaan dalam agama, telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thogut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh pada tali yang kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-baqarah: 256).
Kedua: moral (akhlaq). “Dan sesungguhnya kamu (hai Muhammad) berahlaq mulia.” (QS. Al-Qalam: 4).
Ketiga: keadilan. “Dan Kami turunkan bersama mereka, Al-Kitab (Al-Qur’an) dan al-Mizan (As-Sunnah) untuk menegakkan keadilan di kalangan manusia.” (QS. Al-Hadid: 25). Dua pondasi ini (moral dan keadilan) yang disebutkan dalam Al-Qur’an; “Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangi agama kamu dan tidak mengusir dari rumah kamu, untuk berbuat baik kepada mereka dan berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8).
Keempat: kerja sama. Tentu tidak ada artinya bila hidup bersama ini tidak dibarengi dengan kerja sama antar anggota masyarakat untuk mewujudkan kepentingan bersama. Bahkan Allah ta’ala menjelaskan bahwa kerja sama ini sebuah tuntutan walaupun dilakukan dengan orang-orang musyrik. “….Dan jangan sampai kebencianmu kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong menolonglah kamu dalam hal (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, serta janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2).
****

Ikhwan dengan Kristen Koptik, Sebagai Contoh
Koptik Dalam Pemikiran Al-Banna

Ketika kita berbicara tentang Koptik dan pandangan Al-Banna tentang mereka, kita harus memahami bahwa beliau adalah pendiri bagi sebuah pemikiran. Beliau ingin mengungkap prinsip dan yang tidak ketahui oleh masyarakat umum. Sebagaimana diketahui, aliran Islam saat itu, seperti ungkap Ust. Tareq Bishri, pada fase sejarah yang menuntutnya untuk mengokohkan prinsip-prinsip umum, bukan di fase penyelesaian masalah-masalah yang tidak prinsipil.
Maka apa yang disampaikan oleh Al-Banna tentang Koptik atau isu-isu lainnya tidak jauh dari logika di atas. Berbagai sarana beliau gunakan, seperti konfrensi, ceramah, tulisan makalah, pergi ke desa atau unjuk rasa dan dengan cara beliau yang khas mengajak bicara semua pihak. Dengan pemahaman yang mengemuka kala itu dan sesuai dengan yang dikenal di kalangan para pembaharu di masanya.
Tidak Ada Sektarian di Ikhwan
Dalam risalah berjudul “Ila Syabab (kepada pemuda)” Imam Al-Banna mengatakan:
“Islam sangat menghormati ikatan kemanusiaan secara umum antara anak cucu Adam, sebagaimana Islam itu datang untuk kebaikan mausia dan rahmat bagi seluruh alam. Diharamkan menyerang di antara manusia, baik dalam kondisi marah atau permusuhan. Oleh karena itu, kami tidak menyerukan perbedaan etnis dan fanatisme sektarian.”
Dalam risalah lain, “Dakwatuna fi thaurin jadid (dakwah kami dalam di era baru)” Al-Banna memandang bahwa dakwah kami bersifat mendunia karena mengajak semua orang. Dan manusia, pada asalnya, adalah bersaudara dari satu bapak. Tidak ada yang mulia di antara mereka selain dengan taqwanya dan dengan kebaikan yang dipersembahkan untuk umat manusia. “Hai manusia, takutlah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari jiwa yang satu.” (QS. An-Nisa: 1).
Imam Al-Banna pernah menulis surat kepada perdana menteri Mesir tahun 1938, Muhammad Mahmud Basha. Dalam suratnya, Al-Banna meminta perdana menteri untuk penerapan syariat Islam, melarang pesta-pesta jorok dan menjalankan kewajiban. Perdana menteri menjawab denga mengataka; mungkin ada di dalam umat ada unsur lain non muslim yang tidak ingin menggunakan hukum Islam. Untuk menjawab itu, realita dan fakta sudah membuktikan bahwa unsur ini telah berinteraksi dengan Islam selama beberapa abad lamanya. Tidak pernah dilihat selama waktu itu selain keadilan yang utuh. Ucapan yang disampaikan oleh khalifah Umar bin Khatab kala bertemu dengan gubernur Mesir;”Wahai Amr, sejak kapan kamu menjadikan orang sebagai budak padahal mereka dilahirkan oleh ibunya dengan status merdeka.” selalu mengiyang-iyang di telingah setiap muslim.

Imam Al-Banna dan Sistem Kewarganegaraan

Ada beberapa tudingan yang diarahkan kepada Imam Al-Banna bahwa beliau tidak memiliki ide atau pemikiran tentang sistem kewarganegaraan.
Secara aksiomatik historis harus kita akui bahwa ide jamiah islamiyah atau persaudaraan akidah bukanlah ide Al-Banna sendiri dan bukan orang yang pertama kali mendengungkannya. Ada tokoh gerakan Islam lainnya seperti Jamaludin al-Afghani, Mustafa Kamel, Khaerudin al-Tunisi, penulis Kristen Salim Bustan, salah satu pendukung negara Utsmani. Ia melihat bahwa tidak ada masalah, dalam koridor kewarganegaraan ini, agama negara itu Islam.
Seorang pemikir Koptik Kristen, Dr. Yusuf Khalel menjelaskan dengan mengatakan;”Kita tidak bisa memungkiri bahwa pengaruh agama Islam sebagai kekuatan penggerak massa hingga hari ini. Sebab Islam bukanlah sekedar agama dan keyakinan saja, akan tetapi hukum yang mencakup semua urusan agama dan dunia. Kekuatan yang menyatukan di Islam tidak datang dari loyalitas kepada keimanan bersama, namun lebih banyak kepada struktur sosial bersama dan satu methode dalam kehidupan yang dipersiapkan oleh Islam…. Bahkan, ia memandang Al-Qur’an sebagai penjaga bahasa Arab karena Al-Qur’an tidak dikhususkan kepada Islam dan kaum muslimin saja, tapi juga warisan Nasrani Arab.
Sementara pemikir Kristen lain, Qistanten Razeq dalam buku kesadaran nasional terbitan tahun 1938 melihat bahwa setiap orang Arab, tanpa melihat apapun keyakinannya, harus belajar tentang Islam dan Nabi Muhammad SAW dari sisi bahwa Nabi adalah pemersatu bangsa Arab. Karena nasionalisme yang sejati tidak akan bertentangan dengan agama yang benar.
Imam Al-Banna mengartikan jamiah Islamiyah sebagai ikatan persaudaraan umat Islam yang terdiri dari berbagai etnis, bahasa dan agama. Non muslim adalah bagian dari umat universal bagi setiap orang yang memiliki loyalitas politik walaupun berbeda keyakinan.
Imam Al-Banna, dalam banyak penjelasannya menegaskan bahwa beliau tidak mempersoalkan penyerapan formula kewarganegaraan dengan segala artinya. Tanpa ada penghalang, dalam korikor umat universal, disebabkan oleh etnis, geografis dan agama.
Beliau juga melihat bahwa nasioalisme, Arabisme dan Islam merupakan area yang saling bersinergi dan bukan bertolak-belakang. Kecuali jika mereka menginginkan dengan kewarganegaraan ini adalah membagi umat kepada kelompok-kelompok yang saling bersaing dan saling cemburu. Atau ada umat yang ingin menjadikan slogan-slogan nasionalis khusus sebagai senjata untuk menghancurkan perasaan slogan yang lain. Maka jika ini yang mereka inginkan, maka Ikhwan berlepas diri dari mereka.
***

dikutip dari email : Ustad amrzi muhammad

0 komentar:

Posting Komentar