Selasa, 01 April 2014

PEMILU 2014 ANTARA PESIMIS DAN HARAPAN

PEMILU 2014 ANTARA PESIMIS DAN HARAPAN
Oleh : Hariadi Hardy. ST
(Trainer dan Pemerhati Politik)

“Selalu ada celah retak dalam segala sesuatu, dari situlah cahaya masuk”
(Leonard Cohen)

Menjelang pemilihan umum anggota legislatif 2014, rakyat Indonesia disajikan dengan bendera partai, stiker, dan baliho calon anggota legislatif (caleg) yang terpampang hampir di seluruh penjuru Kota dan Desa. Tak hanya itu seluruh media, baik cetak dan elektronik menjadi sarana kampanye partai politik dan caleg. Semuanya tampil untuk mensukseskan pesta demokrasi yang akan di gelar pada 9 April nanti.

Ada yang menarik di pemilihan umum 2014 kali ini, Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD telah mengubah sistem Pemilu legisltatif dari sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka.

Sebagaimana kita ketahui Sistem proporsional terbuka tidak lagi melihat pada kapabilitas figur calon, tetapi berdasarkan suara terbanyak, maka siapapun caleg yang mendapatkan suara terbanyak berhak duduk menjadi wakil rakyat, baik caleg artis, pelawak, pengusaha, akademisi, bahkan caleg yang berasal dari latar belakang pendidikan apapun tetap memiliki kemungkinan yang sama.

Persoalannya adalah sistem proporsional terbuka ini sering menimbulkan kekhawatiran akan kembali munculnya anggota legislatif yang tidak kompeten, karena hingga saat ini kekuatan modal dalam hal ini dana/anggaran caleg masih sangat dominan. Begitupun pengetahuan dan keputusan dalam memilih sebagian besar masyarakat Indonesia masih banyak yang bersifat transaksional. Maka jika saja ada caleg yang tidak memiliki kapabilitas namun memiliki modal dan kolega yang banyak, besar kemungkinan untuk duduk sebagai wakil rakyat. Jika sudah demikian harapan akan perbaikan bangsa yang lebih baik tentu tak akan mudah terwujud. Oleh karena itu ada beberapa hal penting yang perlu dicermati masyarakat Indonesia ;

Manipulasi dan Politik Pencitraan
Memang rumit jika hidup di zaman yang penuh dengan manipulasi dan politik pencitraan, tak hanya barang, caleg dan capres pun dapat dengan mudah dimanipulasi, yang baik dibuat buruk dan sebaliknya yang buruk dibuat baik, masyakat dibuat bingung mana yang tulus membangun dan mana sekedar berpura-pura tulus. Jika demikian Mungkin benar apa yang disampaikan oleh Ahmad Zairofi AM “Dahulu ketulusan tidak punya penafsiran lain, dizaman ketika orang tidak mengenal konspirasi atau manipulasi dan banjir kampanye, kebohongan bila terus menerus didengungkan sebagai kebenaran akan diterima sebagai kebenaran begitulah filosofinya”…
Tanpa disadari kita terjebak dalam politik pencitraan yang penuh dengan manipulasi hingga hampir saja kita tak mampu membedakan “hitam dan putih”, kesalahan menerima informasi dapat menjadikan kita tidak rasional dalam melihat, kemudian kita menjadi bagian dari masyarakat yang salah dalam menentukan pilihan partai politik.

Partai Juara Korupsi dan Kredibilitas Caleg
Beberapa waktu lalu beberapa lembaga anti korupsi kembali mempublikasikan partai juara korupsi Indonesia, tak terkecuali media elektronik. Metro TV misalnya pada kamis 13 Maret 2014 merilis kasus korupsi yang menimpa partai politik. Dari 9 Parpol yang sekarang ada di DPR RI  tercatat : PDIP 84 Kasus Korupsi, Golkar 60 Kasus, PAN 36 Kasus, Demokrat 30 Kasus, PPP 13 Kasus, PKB 12 Kasus, Hanura 6 Kasus, Gerindra 3 Kasus, dan PKS 2 Kasus.
Sebelumnya Rakyat Merdeka Online pada 10 Maret 2014 juga mempublikasikan partai juara korupsi indonesia melalui data yang di telusuri Andi Arief  (staff khusus presiden bidang sosial dan bencana alam). Tentu saja sebagai pemilih cerdas kita mungkin perlu mempertimbangkan latar belakang partai serta caleg sebelum kita memilih, Indeks Korupsi partai terkorup perlu kita ketahui agar dapat melihat partai  mana yang serius memberantas korupsi di Indonesia.

Putihkan Indonesia tapi bukan Golput
“Selalu ada celah retak dalam segala sesuatu, dari situlah cahaya masuk” begitulah Leonard Cohen berujar. Melihat kondisi bangsa dan anggota legislatif yang banyak terlibat kasus korupsi, di tambah pemilu dengan sistem proporsional terbuka tentu menghadirkan jiwa yang pesimis di pemilu 2014 ini. Walaupun demikian pesimis tak harus menjadi golput. Pilihan golput tidak akan memberi solusi bagi bangsa. Kita tentu ingat di tahun 1999 angka golput mencapai 10.21 % dan di tahun 2009 kembali meningkat menjadi 39.1 %. Golput adalah pemenang pemilu di tahun 2009 akan tetapi mereka yang golput tak bisa memimpin negeri ini dan tentu saja tak bisa memperbaiki bangsa ini menjadi lebih baik.

Kita masih memiliki harapan akan hadirnya cahaya perbaikan di Negeri ini, karena politik menjadi kotor bukan karena banyaknya orang jahat akan tetapi sebaliknya sedikitnya orang baik yang mau terlibat, dan salah satu keterlibatan kita adalah tetap memilih pada 9 April Nanti. Seperti memilih jodoh, kita tidak mungkin mendapatkan jodoh “ideal” tapi jodoh yang “terbaik” tentu ada untuk kita.
Kita tidak mungkin mendapatkan partai ideal yang bersih dari korupsi tapi tentu kita bisa memilih partai yang terbaik dengan indeks korupsi terkecil misalnya. Allahualambissawab



0 komentar:

Posting Komentar