Minggu, 27 Februari 2011

Belajar dari Kisah "MANGKOK TANPA ALAS"

Seorang raja bersama pengiringnya keluar dari
istananya untuk menikmati udara pagi. Di keramaian,
ia berpapasan dengan seorang pengemis.
Sang raja menyapa pengemis ini, “Apa yang engkau inginkan
dariku?”

Si pengemis itu tersenyum dan berkata, “Tuanku bertanya,
seakan-akan tuanku dapat memenuhi permintaan hamba.”
Sang raja terkejut, ia merasa tertantang, “Tentu saja aku dapat
memenuhi permintaanmu. Apa yang engkau minta, katakanlah!”
Maka menjawablah sang pengemis, “Berpikirlah dua kali, wahai
tuanku, sebelum tuanku menjanjikan apa-apa.”

Rupanya sang pengemis bukanlah sembarang pengemis.
Namun raja tidak merasakan hal itu. Timbul rasa angkuh dan tak
senang pada diri raja, karena mendapat nasihat dari seorang
pengemis. “Sudah aku katakan, aku dapat memenuhi
permintaanmu. Apapun juga! Aku adalah raja yang paling
berkuasa dan kaya-raya.”

Dengan penuh kepolosan dan kesederhanaan si pengemis itu
mengangsurkan mangkuk penadah sedekah, “Tuanku dapat
mengisi penuh mangkuk ini dengan apa yang tuanku inginkan.”
Bukan main! Raja menjadi geram mendengar ‘tantangan’
pengemis di hadapannya.

Segera ia memerintahkan bendahara kerajaan yang ikut
dengannya untuk mengisi penuh mangkuk pengemis kurang
ajar ini dengan emas! Kemudian bendahara menuangkan emas
dari pundi-pundi besar yang dibawanya ke dalam mangkuk
sedekah sang pengemis. Anehnya, emas dalam pundi-pundi
besar itu tidak dapat mengisi penuh mangkuk sedekah.
Tak mau kehilangan muka di hadapan rakyatnya, sang raja terus
memerintahkan bendahara mengisi mangkuk itu. Tetapi
mangkuk itu tetap kosong. Bahkan seluruh perbendaharaan
kerajaan: emas, intan berlian, ratna mutumanikam telah habis
dilahap mangkuk sedekah itu. Mangkuk itu seolah tanpa dasar,
berlubang.

Dengan perasaan tak menentu, sang raja jatuh bersimpuh di
kaki si pengemis, ternyata dia bukan pengemis biasa, terbatabata
ia bertanya, “Sebelum berlalu dari tempat ini, dapatkah
tuan menjelaskan terbuat dari apakah mangkuk sedekah ini?”
Pengemis itu menjawab sambil tersenyum, “Mangkuk itu
terbuat dari keinginan manusia yang tanpa batas. Itulah yang
mendorong manusia senantiasa bergelut dalam hidupnya. Ada
kegembiraan, gairah memuncak di hati, pengalaman yang
mengasyikkan kala engkau menginginkan sesuatu. Ketika
akhirnya engkau telah mendapatkan keinginan itu, semua yang
telah kau dapatkan itu, seolah tidak ada lagi artinya bagimu”.
Semuanya hilang ibarat emas intan berlian yang masuk dalam
mangkuk yang tak beralas itu. Kegembiraan, gairah, dan
pengalaman yang mengasyikkan itu hanya tatkala dalam proses
untuk mendapatkan keinginan..

Begitu saja seterusnya, selalu kemudian datang keinginan baru.
Orang tidak pernah merasa puas. Ia selalu merasa kekurangan.
Anak cucumu kelak mengatakan: power tends to corrupt;
kekuasaan cenderung untuk berlaku tamak.
Raja itu bertanya lagi, “Adakah cara untuk dapat menutup alas
mangkuk itu?”

“Tentu ada, yaitu rasa syukur kepada Tuhan. Jika engkau pandai
bersyukur, Tuhan akan menambah nikmat padamu,” ucap sang
pengemis itu, sambil ia berjalan kemudian menghilang.

============================================
Sumber artikel, dari buku:
Sudarmono, Dr.(2010). Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi. Yogyakarta: Idea Press. Volume 2. Hal. 368-370. ISBN 978-6028-686-938.

0 komentar:

Posting Komentar