Kamis, 13 November 2025

On Father’s Day, Remember the Fatherless




(Refleksi Hari Ayah Nasional)

Oleh : Hariadi Hardy

Ketua Forum Ayah PKS Maluku Utara


12 November 2025 kita kembali memperingati Hari Ayah Nasional.  Semenjak pertama kali dicetuskan oleh Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP) pada tahun 2006 di Surakarta, Jawa Tengah. Peringatan Hari Ayah Nasional ini menjadi penting  untuk menghormati peran ayah dalam keluarga serta menginspirasi ayah di seluruh Indonesia untuk terus menjadi teladan, pendidik, dan pelindung bagi keluarganya.

Persoalan Ayah hari ini 

Hari ini kita diperhadapkan dengan fenomena fatherless atau ketidakhadiran figur dan peran ayah dalam kehidupan anak, yang kini menjadi persoalan serius di Indonesia. Mengutip data Analisis Tim Jurnalisme Harian Kompas menunjukkan, 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau fatherless. Angka ini setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun. Temuan ini merujuk pada olahan data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik yang di publikasikan Maret 2024.

Fatherless dalam kehidupan seorang anak dapat memberikan dampak yang signifikan pada berbagai aspek perkembangan anak baik secara sosial, psikologis, maupun emosional. Melansir dari laman FKM Universitas Air Langga menunjukkan anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah sering menghadapi tantangan dalam aspek sosial, termasuk kurangnya rasa percaya diri dan keterbatasan dalam keterampilan bersosialisasi yang pada akhirnya berdampak pada performa akademik dan kualitas hubungan dengan orang lain. Secara psikologis, ketiadaan ayah dapat mengakibatkan kurangnya stabilitas emosional bagi anak dan berisiko lebih tinggi mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Anak mungkin merasa tidak lengkap atau bertanya-tanya, mengapa ayah mereka tidak ada dalam kehidupan mereka. Ketidakstabilan ini dapat mempengaruhi cara mereka memandang hubungan interpersonal, termasuk kepercayaan terhadap orang lain.

Banyak Faktor yang dapat menyebabkan fatherless, Budaya patriarki salah satunya. Budaya ini membagi peran secara kaku, di mana ayah sering dianggap hanya sebagai tulang punggung keluarga dan tidak terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari. Keikutsertaan ayah dalam pengasuhan anak, sering dinilai sebagai kegagalan seorang ibu dalam mengurus anak. Hal ini pun didukung dengan didikan zaman dahulu yang mengglorifikasi peran seorang ayah hanya sebatas pencari nafkah. Selain itu faktor ekonomi dan tingginya angka perceraian dapat menyebabkan anak kehilangan figur ayah secara fisik dan/atau emosional. Pada tahun 2024, angka perceraian di Indonesia cukup memprihatinkan. Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung mencatat ada 446.359 kasus perceraian. Jumlah ini mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Pada 2023, angka perceraian ada 408.347 kasus.

Kebutuhan Anak dari Ayahnya.

Figur ayah, itulah hal utama yang paling dibutuhkan anak terhadap keberadaan ayahnya. Konsep anak tentang ayah, perannya dalam keluarga, interaksi sosialnya kepada ibu dan kepada anak – anaknya akan terbentuk melalui figur laki – laki dewasa yang dekat dengan kehidupan anak. Disinilah peran ayah menjadi sangat penting dalam memerankan secara totalitas sosok ayah ideal sehingga anak mampu mencatatnya dalam memorinya sebagai figur ayah yang ia pahami selamanya. Selain menjadi figur bagi anak, ayah memiliki peran unik yang berbeda dari ibu. Ia lebih banyak menanamkan rasa percaya diri, disiplin, tanggung jawab, dan kemampuan anak dalam menghadapi tantangan hidup. 

Memaksimalkan Peran Ayah.

”Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI)” yang diluncurkan oleh Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (BKKBN) pada 21 April 2025 cukup menjadi angin segar dalam Upaya mencegah fenomena "fatherless" atau kurangnya kehadiran ayah dalam kehidupan anak. Kita menyadari pentingnya ayah bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, namun kita perlu terus menguatkan peran Ayah sebagai pemimpin dalam keluarga. Disinilah diperlukan adanya program edukasi pengasuhan bagi ayah, regulasi jam kerja yang memungkinkan keterlibatan harian ayah dalam keluarga, serta kampanye untuk mengembangkan kesadaran pentingnya kehadiran ayah di keluarga. 

Dalam satu Kampanye Keayahan di Jepang ada pepatah yang baik untuk kita para ayah ; “Ikuji wo shinai otoko wo, chichi to wa yobanai” yang berarti ; laki – laki yang tidak mengasuh anak – anaknya, tidak bisa disebut sebagai seorang ayah. 

Selamat Hari Ayah.




0 komentar:

Posting Komentar