Senin, 31 Desember 2012

Tips : Mengucapkan Selamat Natal Dalam Islam



Selamat Natal Menurut Al-Qur’an
Oleh: Dr. M. Quraish Shihab



Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam bersandar ke pohon kurma.
Ingin rasanya beliau mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali. Tetapi
Malaikat Jibril datang menghibur: “Ada anak sungai di bawahmu, goyanghan
pangkal pohon kurma ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu. Kalau ada
yang datang katakan: “Aku bernazar tidak bicara.”�


“Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk. Ayahmu bukan penjahat, ibumu
pun bukan pezina”,� demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di
gendongannya.


Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya menunjuk bayinya. Dan ketika itu
bercakaplah sang bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah yang
diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta mengabdi kepada ibunya. Kemudian
sang bayi berdoa: “Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari
kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup
kembali.”



Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34. Dengan
demikian, Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama
dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa a.s.


Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah Al-Quran telah
memberikan contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh,
Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap
Muslim harus percaya kepada Isa a.s. seperti penjelasan ayat di atas, juga
harus percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba dan utusan
Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk mereka berdua
sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul. Tidak bolehkah kita
merayakan hari lahir (natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan
hari keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa ‘Asyura,
seraya bersabda, “Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi
pengikut Musa a.s.”


Bukankah, Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda? Seperti
disabdakan Nabi Muhammad saw.? Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa
salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas
kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Demikian lebih
kurang pandangan satu pendapat.


Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih yang dijelaskan
oleh sejarah atau agama dan telah disepakati, sehingga harus diterima.
Tetapi, ada juga yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Disini, kita
berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.


Isa a.s. datang mermbawa kasih, “Kasihilah seterumu dan doakan yang
menganiayamu.”� Muhammad saw. datang membawa rahmat, “Rahmatilah yang di
dunia, niscaya yang di langit merahmatimu.” Manusia adalah fokus ajaran
keduanya; karena itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.


Isa menunjuk dirinya sebagai “anak manusia, sedangkan Muhammad saw.
diperintahkan oleh Allah untuk berkata: “Aku manusia seperti kamu. Keduanya
datang membebaskan manusia dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu
penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jailrus yang sakit telah
mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan
berkata, “Dia tidak mati, tetapi tidur.”� Dan ketika terjadi gerhana pada
hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: Matahari mengalami gerhana
karena kematiannya.� Muhammad saw. lalu menegur, “Matahari tidak mengalami
gerhana karena kematian atau kehahiran seorang.”�Keduanya datang
membebaskan maanusia baik yang kecil, lemah dan tertindas dhuâfaâ dan
al-mustadhâ’affin dalam istilah Al-Quran.


Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih?
Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawaâ (Kata Sepakat) yang
ditawarkan Al-Quran kepada penganut Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau
demikian, apa salahnya mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat
dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh
Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan selamat natal itu?


Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan
selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual. Di sisi lain,
marilah kita menggunakan kacamata yang melarangnya.


Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya
salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi,
juga salah serta dosa pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas
nama kerukunan.


Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas, dan tidak juga
rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan
Al-Q!uran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan
kesalah-pahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak
disalahpahami. Kata “Allah”,� misalnya, tidak digunakan oleh Al-Quran,
ketika pengertian semantiknya yang dipahami masyarakat jahiliah belum
sesuai dengan yang dikehendaki Islam.


Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai
Muhammad) Demikian terlihat pada wahyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi
saw. Sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun
bertanya, “Di mana Tuhan?”� Tertolak riwayat sang menggunakan redaksi itu
karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang
mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan
serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata “adaâ” bagi Tuhan,
tetapi “wujud” Tuhan.


Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia agung lagi suci
itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap
Al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat
Natal”�atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman
dan dapat
mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan
akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan
dengan akidah Islam. Dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram
itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas
apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli
untuk keperluan Natal.


Adakah kacamata lain? Mungkin!


Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya memelihara akidah.
Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan
kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika
ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau
mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal”� Qurani, kemudian
mempertimbangkan kondisi dan situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga
tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang
lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah yang
berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu
ayat Al-Quran?


Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Al-Quran
memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan bicara memahaminya sesuai
dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh
pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi
itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya. Salah satu contoh yang
dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun non
Muslim memahami ucapan “Selamat Natal”� sesuai dengan keyakinannya, maka
biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya
sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka
interaksi sosial.


Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia
ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi,
tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap
arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal
tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.



Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah berimajinasi
tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian umat Islam pun percaya akan
kedatangannya kembali. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi dan
kepercayaan itu, kita dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang,
seluruh umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat
kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan. Bukan saja
sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan ucapan umat Muhammad saw.
Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada hari Natalnya, hari
wafat dan hari kebangkitannya nanti.


MEMBUMIKAN AL-QURAN

Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat

Dr. M. Quraish Shihab

Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996

Jln. Yodkali 16, Bandung 40124

Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038

0 komentar:

Posting Komentar