Bekerja atau Menjadi Ibu Rumah Tangga ya? kali ini saya publish Tulisan Istri Saya yang beberapa waktu lalu (Sabtu 16 Maret 2013) di Muat di Harian Malut Post...
Oleh :
Ati’ah Dyah Lestari, S.S.T.
Bismillahirrohmanirrohim.
Perempuan,
selalu menarik, dalam hal apapun. Termasuk membicarakan tentang kodratnya
sebagai seorang isteri sekaligus ibu. Perbincangan mengenai bekerja atau
menjadi ibu rumah tangga selalu menjadi isu 'hot' yang tak kunjung habis. Sebab, masing-masing
peran, entah sebagai wanita bekerja atau irt, memiliki ruang 'dilema'nya
masing-masing. Saya jadi teringat, sebuah adegan di sinetron, saat seorang
mertua meminta menantu perempuannya berhenti bekerja.
"Saya
masih bingung Bu, kalau saya tidak bekerja, saya ngapain ya di rumah?"
"Ya
banyak, kamu bisa shopphing, perawatan di salon, memasak untuk suamimu, dan mengurus
rumah"
Dua
kata dalam adegan tersebut sengaja saya beri warna biru. Saya sempat tersenyum
saat mendengar dialog ini, bersenang-senang, bersantai apalagi bisa perawatan
dan shopping, itu semua dambaan setiap wanita. Tetapi, hakikat dalam tulisan
ini tidak menuju kesana. Kita akan berbicara tentang ruang 'dilema' yang
senantiasa digundahkan oleh perempuan-perempuan, termasuk saya.
Menurut
saya, secara kodrati, seorang ibu pekerja atau ibu rumah tangga, kedua status
tersebut tidak dapat dipilah-pilah, keduanya menyatu. Seorang ibu yang bekerja
(dalam rangka mencari nafkah) juga tetap mengurus rumah. Kita telah banyak
menyaksikan ibu-ibu pekerja yang begitu cekatan mengurus keluarganya, bangun
pagi-pagi, membuatkan sarapan, mengurus cucian dan banyak lagi. Sebaliknya,
seorang ibu rumah tangga, jelas ia juga seorang yang bekerja. Seorang ibu rumah
tangga, bahkan tidak memiliki waktu untuk berhenti, di sepanjang harinya,
pekerjaannya di rumah, senantiasa bertambah dan menanti.
Kalau
begitu, apa yang membuat ruang 'dilema' itu muncul? dilema itu muncul, saat
perbincangan mengarah kepada pemenuhan pendidikan dan hak anak. Seorang ibu
yang bekerja, dihadapkan pada persoalan bagaimana mengasuh anak, memenuhi
ASInya, dan lebih dari itu, memenuhi kebutuhan aspek psikologisnya. Oleh karena
itu, banyak wanita bekerja yang pada akhirnya memutuskan untuk berhenti.
Tetapi, permasalahannya, mungkin tidak hanya sampai disitu, sebab kenyataannya
mendidik anak bukanlah persoalah mudah sehari selesai. Atau sekedar berdebat panjang
tentang status sang ibu, tetap bekerja atau menjadi ibu rumahan saja. Maka,
sekedar berbagi pemikiran saja, mungkin ada baiknya kita merenungkan kembali
hal-hal berikut ini:
1. Untuk Apa Saya
Bekerja?
Islam
sangat memuliakan kedudukan wanita, hingga dengan terang benderang menyatakan
bahwa kewajiban mencari nafkah diberikan kepada suami. Tetapi, dewasa ini,
seorang isteri pun banyak yang turut ikut bekerja (mencari nafkah) dengan
beragam alasan. Jika pun demikian, maka coba fikirkan baik-baik, dengan alasan
apa kita harus bekerja (mencari nafkah) membantu suami. Baik bekerja maupun di
rumah saja, masing-masing memiliki kebaikan. Dengan bekerja, selain mandiri
secara finansial, membantu keuangan di rumah, memiliki banyak relasi, mengenal
dunia luar, menjadi seorang profesional dan banyak lagi.
Tetapi,
tidak perlu khawatir, jika pilihan itu jatuh, untuk menjadi ibu rumah tangga.
Banyak kebaikan juga tersimpan disana, kebersamaan bersama anak, waktu yang
banyak untuk mengurus dan melayani keluarga, lalu banyak lagi. Menjadi seorang
ibu rumah tangga juga tidak serta merta membuat kita tidak mandiri secara
finansial. Seorang IRT juga bisa mandiri secara finansial tanpa harus
kehilangan momen berharga bersama anak-anak dan keluarga. Membuka warung/toko,
mengajar privat di rumah, berjualan di dunia maya, menulis, hanyalah satu dari
sekian banyak pilihan yang bisa dipilih. Seorang IRT juga bisa memiliki banyak
relasi dan dunia luar, saat bisnis rumahannya bertambah maju, ikut aktif
berperan dalam perkumpulan ibu-ibu semisal arisan, pengajian, PKK, Posyandu
atau banyak lagi.
2. Air Susu Ibu atau
Air Susu Sapi?
Jika
saya ditanya, apa yang hendak saya lakukan jika saya bukan lagi seorang
pegawai? barangkali, saya akan membuka sekolah, untuk anak-anak saya dan banyak
anak lagi di luar sana. Membuka daycare, tempat penitipan anak atau semacam
itu, bayangan yang sempurna dibenak saya. Lalu, saya sekalian saja membuka toko
buku, atau warung kelontongan sederhana juga tak apa.
Bukan
bermaksud mendiskreditkan seorang pegawai atau karyawan, bukan begitu. Tetapi,
saya hanya ingin mengajak kita semua, untuk memiliki rencana. Jika pun tetap
ingin bekerja, jadilah pengusahanya. Jadilah pemilik waktunya. Bagi yang telah
memutuskan untuk berhenti bekerja, jangan khawatir, anda masih bisa memikirkan
pekerjaan apa yang tepat sebagai seorang irt yang mandiri. Pakailah modal yang
telah anda himpun selama bekerja, untuk membuka usaha kecil-kecilan, atau
sekalian saja usaha besar jika memang modalnya besar. Bagi ibu-ibu yang bekerja
full sebagai ibu rumah tangga, yang saat ini tengah kerepotan mengurus si kecil
atau sibuk dengan banyaknya anak-anak, sehingga belum bisa merealisasikan
keinginan untuk mandiri secara finansial. Berfokus saja dulu mengurus keluarga
(jika semua kebutuhan telah terpenuhi oleh suami), kemudian bergabunglah dengan
komunitas yang membangun. Olah setiap kreativitas yang dimiliki untuk
dikembangkan.
Bagi
yang tetap bekerja (mencari nafkah) atau apapun alasan yang mendasarinya.
Ibu-ibu yang menjadikan profesinya sebagai ladang amal. Guru, perawat, dokter,
dosen atau pegawai pemerintahan atau semacam itu, jika memang kesempatan,
kemampuan dan keadaan memang mendudukkan kita berada disana, jalani dan
syukuri. Resiko selalu ada, baik sedang bekerja atau dirumah saja.
Saya
membaca status seorang ibu pekerja yang hari ini sedang kelabakan, karena
hendak dinas luar, dengan catatan tidak diperkenankan membawa anak. Padahal,
anaknya masih berumur bulan. Gundah gulana si ibu tentu pernah juga dirasakan
oleh ibu-ibu pekerja kantoran yang lain. Saya jadi teringat status saya
beberapa bulan lalu, tentang cuti melahirkan di negara kita yang hanya tiga
bulan. Sementara di negara-negara lain telah lebih bijak dengan memberikan
jangka cuti yang lebih panjang, untuk memenuhi kebutuhan bayi akan ASI. Tetapi,
banyak juga tanggapan yang tidak sependapat dengan itu (maksud saya, jika
negara kita juga ikut menerapkan cuti lebih dari tiga bulan), dan ucapan itu
terlontar pula dari seorang perempuan. Maka, jangan heran jika beberapa peraturan
yang dibuat terkadang tidak menguntungkan bagi ibu, yang akhirnya berujung pada
tidak terpenuhinya hak anak.
Tetapi,
para ibu di tahun 2012 lalu, begitu berbahagia dan berbunga-bunga setelah
muncul PP ASI yang baru. Dan bagi saya secara pribadi, hal ini sangat baik dan
membuat peraturan cuti melahirkan pegawai menjadi berimbang. Dalam Peraturan
Pemerintah No 33 Tahun 2012 Tentang ASI, dimana dengan jelas menguraikan
tentang tanggung jawab pemerintah tentang pencapaian program pemberian ASI
Eksklusif yang tertuang dalam Pasal 3, 4 dan 5:
Pemerintah
bertanggung jawab membina, mengawasi, serta mengevaluasi pelaksanaan dan
pencapaian program pemberian ASI Eksklusif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
satuan pendidikan kesehatan, Tempat Kerja, tempat sarana umum, dan kegiatan di
masyarakat.
Maka,
seharusnya tidak boleh ada pelarangan saat seorang ibu membawa bayi ke tempat
kerja, meski hal ini nampaknya masih begitu tabu dan berlawanan dengan
mainstream yang telah melekat di masyarakat. Sehingga tidak perlu lagi, ada
ibu-ibu yang harus bercucuran airmata saat harus berangkat bekerja.
Pasal
30
(1)
Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus mendukung
program ASI Eksklusif.
(2)
Ketentuan mengenai dukungan program ASI Eksklusif di Tempat Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perusahaan antara
pengusaha dan pekerja/buruh, atau melalui perjanjian kerja bersama antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha.
(3)
Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus menyediakan
fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI sesuai dengan kondisi
kemampuan perusahaan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan fasilitas khusus menyusui
dan/atau memerah ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal
34
Pengurus
Tempat Kerja wajib memberikan kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk
memberikan ASI Eksklusif kepada Bayi atau memerah ASI selama waktu kerja di
Tempat Kerja.
Pasal
35
Pengurus
Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum wajib membuat peraturan
internal yang mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.
Jika
membaca cuplikan dari PP tersebut, maka jelas bahwa seharusnya tempat kerja
wajib memberikan fasilitas tempat menyusui, wajib memberi kesempatan memberikan
ASI Eks saat jam kerja, mendukung tercapainya program ASI Eksklusif.
Pasal
36
Setiap
pengurus Tempat Kerja dan/atau penyelenggara tempat sarana umum yang tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat
(3), atau Pasal 34, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagi
ibu-ibu pekerja yang dilema terhadap peraturan yang membelenggu seperti kasus
yang dihadapi sang Ibu yang hendak dinas luar tadi, secara hukum dapat
mengajukan keberatan, gugatan atau semacamnya berdasarkan PP ini, yang
dikuatkan dalam pasal 36.
Butuh
perjuangan untuk dapat merealisasikan peraturan Tuhan. Saya katakan demikian,
sebab peraturan menyusui ini sendiri sudah jelas-jelas tertuang dalam Al-Quran.
Tetapi, syukurlah jika pemerintah kita telah cukup peduli dengan membuat
Peraturan Pemerintah. Dengan begitu, saat terjadi ketidaksepahaman, ibu pekerja
masih dapat berkilah dengan payung hukum negara.
Tentang
ASI inilah adalah ruang 'dilema' bagi ibu pekerja, melahirkan keresahan yang
begitu dalam tentang pilihan, bekerja atau ibu rumah tangga?
Bagi
saya, keduanya tidak ada bedanya, sama-sama hebat dan memiliki sisi baik.
Jadi
tidak perlu ada dikotomi atau membanding-bandingkan kondisi keduanya, baik yang
saat ini berstatus ibu pekerja maupun ibu rumah tangga.
Keduanya
sama hebatnya!!
Wallohu
a'lam bish showab
0 komentar:
Posting Komentar