Oleh : Hariadi Hardy. ST
(Trainer
dan Pemerhati Politik)
“Selalu
ada celah retak dalam segala sesuatu, dari situlah cahaya masuk”
(Leonard
Cohen)
Menjelang pemilihan umum anggota
legislatif
2014, rakyat Indonesia disajikan dengan bendera partai, stiker, dan baliho
calon anggota legislatif (caleg)
yang terpampang hampir di seluruh penjuru Kota dan Desa. Tak hanya itu seluruh
media, baik cetak dan
elektronik menjadi sarana kampanye partai politik dan caleg. Semuanya tampil
untuk mensukseskan pesta demokrasi yang akan di gelar pada 9 April nanti.
Ada yang menarik di pemilihan umum 2014
kali ini, Putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian pasal 214 UU No 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD telah mengubah sistem Pemilu legisltatif dari sistem
proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka.
Sebagaimana
kita ketahui Sistem proporsional terbuka tidak lagi melihat pada
kapabilitas figur calon, tetapi berdasarkan suara terbanyak,
maka siapapun caleg yang mendapatkan suara terbanyak berhak duduk menjadi wakil rakyat,
baik caleg artis, pelawak, pengusaha, akademisi, bahkan caleg yang berasal dari
latar belakang pendidikan apapun tetap memiliki kemungkinan yang sama.
Persoalannya adalah sistem proporsional terbuka ini sering
menimbulkan kekhawatiran akan kembali munculnya anggota legislatif yang tidak
kompeten, karena hingga
saat ini kekuatan modal dalam hal ini dana/anggaran caleg masih sangat dominan.
Begitupun pengetahuan dan keputusan dalam memilih sebagian
besar masyarakat Indonesia
masih banyak yang bersifat transaksional.
Maka jika saja ada caleg yang tidak memiliki kapabilitas namun memiliki modal
dan kolega yang banyak, besar kemungkinan untuk duduk sebagai wakil rakyat.
Jika sudah demikian harapan akan perbaikan bangsa yang lebih baik tentu tak
akan mudah terwujud. Oleh karena itu ada beberapa hal penting yang perlu
dicermati masyarakat Indonesia ;
Manipulasi
dan Politik Pencitraan
Memang rumit jika hidup di zaman yang
penuh dengan manipulasi dan politik pencitraan, tak hanya barang, caleg dan
capres pun dapat dengan mudah dimanipulasi, yang baik dibuat buruk dan
sebaliknya yang buruk dibuat baik, masyakat dibuat bingung mana yang tulus
membangun dan mana sekedar berpura-pura tulus. Jika demikian Mungkin benar apa
yang disampaikan oleh Ahmad Zairofi AM “Dahulu
ketulusan tidak punya penafsiran lain, dizaman ketika orang tidak mengenal
konspirasi atau manipulasi dan banjir kampanye, kebohongan bila terus menerus
didengungkan sebagai kebenaran akan diterima sebagai kebenaran begitulah
filosofinya”…
Tanpa disadari kita terjebak dalam
politik pencitraan yang penuh dengan manipulasi hingga hampir saja kita tak mampu membedakan “hitam dan putih”,
kesalahan menerima informasi dapat menjadikan kita tidak rasional dalam melihat, kemudian kita menjadi bagian
dari masyarakat yang salah dalam menentukan pilihan partai politik.
Partai Juara Korupsi
dan Kredibilitas Caleg
Beberapa waktu
lalu beberapa lembaga anti korupsi kembali mempublikasikan partai juara korupsi
Indonesia, tak terkecuali media elektronik. Metro TV misalnya pada kamis 13
Maret 2014 merilis kasus korupsi yang menimpa partai politik. Dari 9 Parpol
yang sekarang ada di DPR RI tercatat : PDIP
84 Kasus Korupsi, Golkar 60 Kasus, PAN 36 Kasus, Demokrat 30 Kasus, PPP 13 Kasus, PKB 12 Kasus, Hanura 6 Kasus, Gerindra 3 Kasus, dan PKS 2 Kasus.
Sebelumnya
Rakyat Merdeka Online pada 10 Maret 2014 juga mempublikasikan partai juara
korupsi indonesia melalui data yang di telusuri Andi Arief (staff khusus presiden bidang sosial dan
bencana alam). Tentu saja sebagai pemilih cerdas kita mungkin perlu
mempertimbangkan latar belakang partai serta caleg sebelum kita memilih, Indeks
Korupsi partai terkorup perlu kita ketahui agar dapat melihat partai mana yang serius memberantas korupsi di
Indonesia.
Putihkan Indonesia tapi bukan Golput
“Selalu ada
celah retak dalam segala sesuatu, dari situlah cahaya masuk” begitulah Leonard
Cohen berujar. Melihat kondisi bangsa dan anggota legislatif yang banyak
terlibat kasus korupsi, di tambah pemilu dengan sistem proporsional terbuka
tentu menghadirkan jiwa yang pesimis di pemilu 2014 ini.
Walaupun demikian pesimis tak harus menjadi golput. Pilihan golput tidak akan
memberi solusi bagi bangsa. Kita tentu ingat di tahun 1999 angka golput
mencapai 10.21 % dan di tahun 2009 kembali meningkat menjadi 39.1 %. Golput
adalah pemenang pemilu di tahun 2009 akan tetapi mereka yang golput tak bisa
memimpin negeri ini dan tentu saja tak bisa memperbaiki bangsa ini menjadi
lebih baik.
Kita masih
memiliki harapan akan hadirnya cahaya perbaikan di Negeri ini, karena politik
menjadi kotor bukan karena banyaknya orang jahat akan tetapi sebaliknya
sedikitnya orang baik yang mau terlibat, dan salah satu keterlibatan kita
adalah tetap memilih pada 9 April Nanti. Seperti memilih jodoh, kita tidak
mungkin mendapatkan jodoh “ideal” tapi jodoh yang “terbaik” tentu ada untuk
kita.
Kita tidak
mungkin mendapatkan partai ideal yang bersih dari korupsi tapi tentu kita bisa
memilih partai yang terbaik dengan indeks korupsi terkecil misalnya.
Allahualambissawab
0 komentar:
Posting Komentar